Tuesday

Telekomunikasi dan Perkembangan Kota

Perubahan kota yang cepat terjadi di suatu kota industri. Kota-kota yang pada awalnya adalah kota industri yang penuh dengan industri-industri manufaktur telah berubah menjadi kota yang berbasis pada sektor jasa seperti yang terjadi di Inggris.
Perubahan kota secara signifikan ini terjadi karena adanya perkembangan telekomunikasi yang cepat. Penggunaan teknologi komunikasi telah membuat kondisi geografis dan kendala-kendala spasial dalam pengembangan ekonomi suatu kota sudah tidak menjadi halangan lagi. Telekomunikasi dapat menghubungkan tempat-tempat yang berjauhan secara geografis menjadi terhubung secara ‘real time’. Seperti yang telah dikemukakan Hall (1998) dalam bukunya “Urban Geography”, bahwa adanya kemajuan telekomunikasi telah mendorong suatu perusahaan industri untuk menciptakan virtual office. Suatu perusahaan manufaktur akan terdorong untuk memindahkan pabriknya ke tempat dengan tenaga kerja dan bahan dasar yang lebih murah tanpa ada kendala dalam manajemennya, hanya kantor pusat yang masih berada di kota.
Sebagai bagian dari perubahan ini, Judy Hillman menyebutkan bahwa kota telah berisi ‘gigantic invisible cobwebs’ dengan adanya fiber optik, kabel, wireless, gelombang elektromagnetik dan jaringan satelit. Jarak-jarak antar kota yang berupa topografi, laut, ataupun kondisi geografis lainnya tidak menjadi kendala dalam pembentukan suatu jaringan telekomunikasi yang sangat maju. Kota sekarang ini bukan lagi hanya berisi bangunan dengan kepadatan tinggi, jaringan komunikasi, sebagai pusat kegiatan ekonomi, sosial, dan budaya saja, tetapi peran dari sebuah kota sekarang ini adalah sebagai ‘electronic hubs’ .
Perubahan ini dianggap sebagai bagian dari revolusi ekonomi yang  akan membentuk era industri baru yang dipengaruhi secara signifikan oleh perkembangan kemajuan telekomunikasi dan perubahan kota. (Miles and Robin, 1992). Kota telah berubah dari kota industrial, didominasi manufaktur, menjadi kota yang didominasi oleh informasi, komunikasi, dan jasa.
Perkembangan telekomunikasi yang mengakibatkan perubahan kota ini memberikan dampak yang cukup signifikan dan menimbulkan pertanyaan-pertanyaan. Apa yang terjadi pada pabrik-pabrik jika sekarang ini telah berkembang ‘virtual corporations’, ‘virtual communities’, dan ‘electronic territory’? apa yang terjadi jika suatu kota berubah dari ekonomi yang berbasis pada produksi dan sirkulasi barang-barang material menjadi sirkulasi dan konsumsi kebutuhan informasi? Apakah kota bisa bertahan secara ekonomi dengan perubahan ini? Apakah kota akan terkena dampak secara fisik dengan perkembangan ekonomi sebagaimana terjadi pada era sebelumnya dengan kemunculan railway dan automobile? Bagaimana dampaknya terhadap kehidupan sosial kota? Adakah relevansi dari telekomunikasi dan keberlanjutan lingkungan dari kota-kota industri? Dan apakah semua perubahan ini berdampak pada cara kota direncanakan dan diatur?
Development from Below: The Bottom-Up and Periphery-Inward Development Paradigm 
-Problem and Strategy-

Pendekatan development from below muncul sebagai suatu respon atas pola ketergantungan wilayah periphery terhadap wilayah core yang terjadi karena development from above. Pendekatan development from above lebih mengarah pada gejala backwash effect daripada spread effect-nya, sumber daya suatu daerah periphery dan tenaga kerja yang ada di periphery semua terserap ke core, sehingga wilayah periphery tertinggal dan sulit berkembang.
Menurut pendekatan development from below, untuk membuat suatu wilayah dapat berkembang adalah dengan menginternalisasi potensi lokal wilayah tersebut untuk melepaskan diri dari ketergantungan terhadap core. Dengan internalisasi sumber daya dan potensi lokal maka akan mengurangi penyerapan yang berlebihan dari core, sehingga wilayah periphery pun dapat berkembang dengan memanfaatkan sumber daya dan potensi yang dimilikinya.
Problem of transition
Pendekatan development from below muncul sebagai respon setelah adanya pendekatan development from above. Namun ada beberapa masalah bagi suatu negara ataupun daerah yang akan menggunakan pendekatan development from below ini, dimana sebelummnya negara ataupun daerah tersebut telah menggunakan pendekatan development from above. Masalah tersebut yaitu tentang bagaimana menggabungkan pola development from below dengan development from above suatu negara terkait latar belakang historisnya?
Dalam kasus suatu negara, kebanyakan negara berkembang merupakan negara bekas jajahan dengan lama waktu jajahan yang berbeda. Negara penjajah kebanyakan merupakan negara-negara yang menganut development from above, sehingga pendekatan tersebut juga pernah diterapkan di negara berkembang. Hal ini juga terjadi karena memang tidak ada konsep yang baku maupun proses perubahan yang sama untuk dijadikan acuan. Setiap negara ataupun wilayah memiliki karakteristiknya masing-masing, sehingga proses perubahan yang ada dalam pelaksanaan pembangunan dengan pendekatan development from below tidak sama di semua tempat. Setiap negara atau wilayah harus bisa menentukan strateginya masing-masing
Strategi-strategi
Untuk melaksanakan development from below, setiap wilayah harus menentukan strateginya masing-masing yang didasarkan pada kondisi sosiokultural, historical, dan kondisi kelembagaan wilayah itu sendiri. Strategi yang disarankan oleh Stohr yaitu:
  1. Penyediaan akses yang luas terhadap sumber daya alam. Tidak ada privatisasi tanah, sumber daya alam dari suatu daerah, memberikan kesempatan yang seluas-luasnya terhadap sektor yang dapat meningkatkan produktifitas lokal secara kontinyu dan dapat menjadi basis ekonomi.
  2. Pengambilan keputusan secara communal dalam alokasi SDA dan SDM. Pendekatan development from below lebih merujuk pada sosialis dibanding liberal. Pengambilan keputusan yang ada juga diambil secara komunal karena disesuaikan dengan identitas lokal suatu daerah.
  3. Pemberian otonomi kepada daerah rural dan peripheral. Terkait dengan pengambilan keputusan, maka diberikan otonomi kepada daerah rural dan peripheral agar keputusan yang diambil sesuai dengan kondisi lokal yang ada.
  4. Pengolahan sumber daya dan potensi lokal dengan menggunakan teknologi yang efisien dalam pembangunan.
  5. Prioritas pelayanan kebutuhan dasar penduduk dengan memaksimalkan sumber daya daerah. Prioritas pembangunan daerah bukan untuk meningkatkan produksi ekspor, namun prioritasnya adalah untuk memenuhi kebutuhan dasar penduduk lokal untuk mengurangi dependensi terhadap core.
  6. Menggunakan national pricing policies yang dapat memberikan keuntungan lebih kepada produk-produk agrikultur yang pada umumnya menjadi tipikal produk daerah periphery.
  7. Bantuan dari luar dianggap sebagai kompensasi demi mengikis ketergantungan. Dalam kasus daerah periphery tidak mampu memenuhi kebutuhannya, perlu adanya external assistance. Bantuan dari luar pun harus diorientasikan ke hal-hal tertentu, yaitu: a) pemanfaatan sumber daya alam dan manusia; b) pemenuhan kebutuhan dasar dari penduduk daerah periphery; c) pengembangan transportasi intra-peripheral dan fasilitas komunikasi; d) alokasi dari external assistance harus disepakati oleh partisipasi masyarakat lokal.
  8. Meningkatkan produktifitas untuk ekspor, sehingga tidak hanya dapat memenuhi kebutuhan daerah tersebut, tapi bisa mengekspor dan dapat meningkatkan taraf hidup masyarakatnya.
  9. Restrukturasi sistem transportasi untuk kemudahan penduduk. Pengembangan sistem transportasi lebih diutamakan untuk melayani pergerakan di dalam derah periphery dibandingkan yang berorientasi keluar daerah.
  10. Meningkatkan sistem telekomunikasi.
  11. Struktur sosial dan kesadaran bersama merupakan syarat penting development from below. Pembangunan harus didasari dengan inisiatif masyarakat lokal. Jika tidak memungkinkan, maka dibutuhkan external support.

Dalam pendekatan development from below, internalisasi sumber daya alam merupakan hal yang perlu dilakukan suatu daerah untuk melindungi daerah tersebut dari backwash effect yang akan memobilisasi tenaga kerja dan modal ke wilayah core. Hirschman (1957) juga mengatakan bahwa pengembangan wilayah periphery hanya dapat dilakukan dengan melindunginya dari pengaruh polarisasi wilayah. Namun ada beberapa kondisi prasayarat yang disebutkan oleh Stohr dan Palme (1977) untuk melaksanakan development from below agar bisa maksimal, yaitu:
1. Daerah yang kurang berkembang dengan populasi yang besar
2. Sumber daya alam maupun sumber daya manusia yang rendah, dan tidak mampu memenuhi kebutuhan   dunia   
3. Taraf kehidupan yang rendah dibandingkan dengan daerah lain dan jauh tertinggal dari daerah yang telah berkembang
4.  Daerah mampu menyerap tenaga kerja
5.  Memiliki identitas lokal dan sosiokultural yang berbeda dengan daerah sekitarnya
Beberapa contoh penerapan pendekatan development from below yang berhasil yaitu The Rangpur Self-reliant Movement di Bangladesh yang mendasarkan pengambilan keputusan secara bersama dalam penggunaan lahan dan prosesnya serta mengurangi ketergantungan terhadap utang dari luar. Kemudian ada The Sarvodaya Sharamadana Movement di Sri Lanka, yang dipelopori mahasiswa untuk menggerakan partisipasi masyarakat lokal dalam penyediaan infrastruktur daerahnya. Contoh-contoh yang berhasil dari penerapan pendekatan ini didasarkan pada system nilai yang ada, prinsip-prinsip kerjasama masyarakat, dan pengambilan keputusan bersama serta pemenuhan kebutuhan-kebutuhan dasar dari daerah tersebut yang kemungkinan berbeda dari satu daerah dengan daerah lain.
Pada dasarnya, pendekatan development from below ini dapat mengurangi backwash effect sehingga daerah periphery tidak tergantung kepada daerah core. Pendekatan ini juga terkesan lebih sosialis, mementingkan pengambilan keputusan bersama, dan disesuaikan dengan identitas lokal dan kondisi sosiokultural masyarakatnya. Dengan begitu pengambilan keputusan dalam pembangunan pun dapat lebih tepat sasaran. Namun hal itu juga menuntut adanya inisiatif dari masyarakatnya sendiri. Dengan prasyarat demikian,terdapat kendala apabila pendekatan ini diaplikasikan ke lingkup wilayah yang luas, karena dengan lingkup wilayah yang luas, maka populasi di dalamnya juga lebih banyak, dan semakin banyak kepentingan yang ada, pengambilan keputusan akan memakan waktu lebih lama dan sulit menemukan visi yang sama. Selain itu, tingkat pendidikan masyarakat sebagai sumber daya manusia yang ada juga akan mempengaruhi keputusan yang diambil. Apabila sumber daya manusianya memiliki kualitas yang rendah, maka keputusan yang diambil dalam pembangunan tidak dapat memberikan efek yang optimal. Oleh karena itu, apabila pendekatan ini diterapkan dalam suatu wilayah yang berada di bawah suatu negara, perlu dukungan dari pemerintah dalam bentuk external assistance untuk mewujudkan partisipasi masyarakat yang mampu melaksanakan pembangunan yang berhasil optimal.